Sabtu, 28 November 2015

Batas kewenangan profesi hukum yang meliputi: notaris, advokat dan kepolisian


BATAS KEWENANGAN PROFESI HUKUM YANG MELIPUTI: NOTARIS, ADVOKAT DAN KEPOLISIAN

BAB I
PENDAHULUAN
    A.    Latar Belakang
Hukum pada hakekatnya adalah perlindungan kepentingan manusia, yang merupakan pedoman tentang bagaimana sepatutnya orang harus bertindak. Hukum harus ditaati, dilaksanakan, dipertahankan dan ditegakkan.
Hukum berupaya menjaga dan mengatur keseimbangan antara kepentingan atau hasrat individu yang egoistis dan kepentingan bersama agar tidak terjadi konflik. Kehadiran hukum justru mau menegakkan keseimbangan perlakuan antara hak perorangan dan hak bersama. Oleh karena itu, secara hakiki hukum haruslah pasti dan adil sehingga dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
 Hal tersebut menunjukkan pada hakikatnya para penegak hukum (hakim, jaksa, Notaris, Advokat, dan polisi) adalah pembela kebenaran dan keadilan sehingga para penegak hukum harus menjalankan dengan itikad baik dan ikhlas, sehingga profesi hukum merupakan profesi terhormat dan luhur (officium nobile). Oleh karena mulia dan terhormat, profesional hukum sudah semestinya merasakan profesi ini sebagai pilihan dan sekaligus panggilan hidupnya untuk melayani sesama di bidang hukum.
Akan tetapi, ironisnya para profesi hukum kurang memiliki kesadaran dan kepedulian sosial. Hal ini dapat dilihat para pakar hukum menjadi orang-orang sewaan yang dibayar mahal oleh kliennya, pelayanan hanya diberikan kepada orang-orang yang berdiut saja.
Oleh karena itu, makalah ini dibuat untuk menjelaskan tentang tugas-tugas dari para penegak hukum dan kewenangannya. Dengan mengetahui tugas dan kewenangan para penegak hukum kita bisa menilai tugas mereka, sesuai atau tidak sesuai.
B.     Rumusan masalah
1.      Bagaimana pengertian profesi hukum dan batas kewenangan profesi hukum?
2.      Bagaimana batas kewenangan Notaris?
3.      Bagaimana batas kewenangan Advokat ?
4.      Bagaimana batas kewenangan kepolisian ?





BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian dan batas kewenangan profesi hukum
1.      Pengertian profesi hukum
Dalam kamus besar bahasa Indonesia di jelaskan pengertian profesi adalah bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian (keterampilan, kejujuran dan sebagainya) tertentu.
Sejalan dengan pengertian profesi diatas, Habeyb menyatakan bahwa profesi adalah pekerjaan dengan keahlian khusus sebagai mata pencarian. Sementara itu menurut Kamaruddin, profesi ialah suatu jenis pekerjaan yang karena sifatnya menuntut pengetahuan yang tinggi, khusus dan latihan yang istimewa.[1]
Profesi adalah pekerjaan tetap bidang tertentu berdasarkan keahlian khusus yang dilakukan secara bertanggung jawab dengan tujuan memperoleh penghasilan. Sedangkan, profesi hukum adalah  profesi untuk mewujudkan ketertiban berkeadilan yang memungkinkan manusia dapat menjalani kehidupannya secara wajar (tidak perlu tergantung pada kekuatan fisik maupun finansial).  Hal ini dikarenakan Ketertiban berkeadilan adalah kebutuhan dasar manusia, dan Keadilan merupakan Nilai dan keutamaan yang paling luhur serta merupakan unsur esensial dan martabat manusia.[2]
2.      Batas kewenangan profesi hukum
Pengertian kewenangan menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) adalah kekuasaan membuat keputusan memerintah dan melimpahkan tanggung jawab kepada orang lain. Berbicara kewenangan memang menarik, karena secara alamia manusia sebagai mahluk social memiliki keinginan untuk diakui ekstensinya sekecil apapun dalam suatu komunitasnya,dan salah satu factor yang mendukung keberadaan ekstensi tersebut adalah memiliki kewenangan.
Secara pengertian bebas kewenangan adalah hak seorang individu untuk melakukan sesuatu tindakan dengan batas-batas tertentu dan diakui oleh individu lain dalam suatu kelompok tertentu.

B.     Profesi Notaris
Pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN) menyatakan bahwa yang disebut sebagai Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik (surat tanda bukti) dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.
Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta otentik mengenai suatu perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain. Notaris wajib untuk merahasiakan segala sesuatu yang dipercayakan kepadanya dan tidak boleh menyerahkan salinan-salinan dari akta-akta kepada orang-orang yang tidak berkepentingan.
Jabatan Notaris adalah jabatan publik namun lingkup kerja mereka berada dalam konstruksi hukum privat. Sama seperti advokat, Notaris adalah penyedia jasa hukum yang bekerja untuk kepentingan klien. Dalam konteks ini, hierarki birokratis tidak mendukung pekerjaan-pekerjaan mereka. Profesi ini memang diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun aturan hukum positif ini juga merupakan profesi terbuka, dalam arti setiap orang bisa bertahan, atau keluar dari profesi tersebut setiap saat.
Notaris memiliki kekuatan alat bukti terkuat dan penuh mempunyai peranan penting dalam setiap hubungan hukum dalam kehidupan masyarakat. Melalui akta otentik yang menentukan secara jelas hak dan kewajiban, menjamin kepastian hukum, dan sekaligus diharapkan pula dapat dihindari terjadinya sengketa. Dengan perkataan lain, akta otentik yang dibuat oleh Notaris mempunyai kekuatan pembuktian yang kuat sepanjang tidak dibantah kebenarannya oleh siapa pun, kecuali bantahan terhadap akta tersebut dapat dibuktikan sebaliknya.
Dalam artian bahwa akta yang dibuat oleh Notaris tersebut mengalami kebohongan atau cacat, sehingga akta tersebut dapat dinyatakan oleh hakim sebgai akta yang cacat secara hukum begitu pentingnya keterangan yang termuat dalam akta tersebut sehingga penulisannya harus jelas dan tegas.


1.      Batas Kewenangan Profesi Notaris
Kewenangan notaris tersebut dalam Pasal 15 dari ayat (1) sampai dengan ayat (3) UUJN, yang dapat dibagi menjadi ( Habib Adjie, 2008 : 78) :
a.       Kewenangan Umum Notaris
Pasal 15 ayat (1) UUJN menegaskan bahwa salah satu kewenangan notaris yaitu membuat akta secara umum. Hal ini dapat disebut sebagai Kewenangan Umum Notaris dengan batasan sepanjang :
1.      Tidak dikecualikan kepada pejabat lain yang telah ditetapkan oleh undang-undang.
2.      Menyangkut akta yang harus dibuat adalah akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh aturan hukum untuk dibuat atau dikehendaki oleh yang bersangkutan.
3.      Mengenai kepentingan subjek hukumnya yaitu harus jelas untuk kepentingan siapa suatu akta itu dibuat.
b.      Kewenangan Khusus Notaris
Kewenangan notaris ini dapat dilihat dalam Pasal 15 ayat (2) UUJN yang mengatur mengenai kewenangan khusus notaris untuk melakukan tindakan hukum tertentu, seperti :
a.       Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftarkannya di dalam suatu buku khusus.
b.      Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftarkannya dalam suatu buku khusus.
c.       Membuat salinan (copy) asli dari surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan.
d.      Melakukan pengesahan kecocokan antara fotokopi dengan surat aslinya .
e.       Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta.
f.       Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan, atau
g.       Membuat akta risalah lelang
c.       Kewenangan Notaris Yang Akan Ditentukan Kemudian
Dalam Pasal 15 ayat (3) UUJN dengan kewenangan yang akan ditentukan kemudian adalah wewenang yang berdasarkan aturan hukum lain yang akan datang kemudian (ius constituendum) (Habib Adjie, 2008 : 82). Wewenang notaris yang akan ditentukan kemudian, merupakan wewenang yang akan ditentukan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Batasan mengenai apa yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan ini dapat dilihat dalam Pasal 1 angka 2 UU no. 5 Tahun 1986 tetang Peradilan Tata Usaha Negara (Habib Adjie, 2008 : 83), bahwa : Yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan dalam undang-undang ini ialah semua peraturan yang bersifat mengikat secara umum yang dikeluarkan oleh Badan Perwakilan Rakyat Bersama  Pemerintah baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, serta semua keputusan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di tingkat pusat maupun tingkat daerah, yang juga mengikat secara umum. 
    C.     Profesi Advokat
Kedudukan advokat dalam sistem penegakan hukum sebagai penegak hukum dan profesi terhormat. Dalam menjalankan fungsi dan tugasnya advokat seharusnya dilengkapi oleh kewenangan sama dengan halnya dengan penegak hukum lain seperti polisi, jaksa dan hakim. Kewenangan advokat dalam sistem penegakan hukum menjadi sangat penting guna menjaga keindependensian advokat dalam menjalanakan profesinya dan juga menghindari adanya kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh penegak hukum yang lain.
UU No. 18/2003 tentang Advokat tidak mengatur tentang kewenangan Advokat di dalam menjalankan fungsi dan tugasnya sebagai aparat penegak hukum. Dengan demikian maka terjadi kekosongan norma hukum terkait dengan kewenangan Advokat tersebut. Perlu diketahui bahwa profesi advokat adalah merupakan organ negara yang menjalankan fungsi negara.[3]
Dengan demikian maka profesi Advokat sama dengan Kepolisian, Kejaksaan dan Kehakiman sebagai organ negara yang menjalankan fungsi negara. Bedanya adalah kalau Advokat adalah lembaga privat yang berfungsi publik sedangkan Kepolisian, Kejaksaan dan Kehakiman adalah lembaga publik. Jika Advokat dalam menjalankan fungsi dan tugasnya diberikan kewenangan dalam statusnya sebagai aparat penegak hukum maka kedudukannya sejajar dengan aparat penegak hukum yang lain. Dengan kesejajaran tersebut akan tercipta keseimbangan dalam rangka menciptakan sistem penegakan hukum yang lebih baik.
Kewenagan Advokat dari Segi Kekuasaan Yudisial Advokat dalam sistem kekuasaan yudisial ditempatkan untuk menjaga dan mewakili masyarakat. Sedangkan hakim, jaksa, dan polisi ditempatkan untuk mewakili kepentingan negara. Pada posisi seperti ini kedudukan, fungsi dan peran advokat sangat penting, terutama di dalam menjaga keseimbangan diantara kepentingan negara dan masyarakat. Ada dua fungsi Advokat terhadap keadilan yang perlu mendapat perhatian. Yaitu pertama kepentingan, mewakili klien untuk menegakkan keadilan, dan peran advokat penting bagi klien yang diwakilinya. Kedua, membantu klien, seseorang Advokat mempertahankan legitimasi sistem peradilan dan fungsi Advokat.
Adapun tugas dari pengacara secara khusus adalah membuat dan mengajukan gugatan, jawaban, tangkisan, sangkalan, memberi pembuktian, membuat pembelaan, mendesak segera disidangkan atau diputuskanya perkaranya dan sebagainya.
Advokat sangat dibutuhkan oleh masyarakat, khususnya masyarakat yang tersandung perkara hukum, untuk menunjang eksistensi Advokat dalam menjalankan fungsi dan tugasnya dalam sistem penegakan hukum, maka diperlukan kewenangan yang harus diberikan kepada Advokat. Kewenangan Advokat tersebut diperlukan dalam rangka menghindari tindakan kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum yang lain (Hakim, Jaksa, Polisi) dan juga dapat memberikan batasan kewenangan yang jelas terhadap advokat dalam menjalankan profesinya. Dalam praktik seringkali keberadaan Advokat dalam menjalankan profesinya seringkali dinigasikan (diabaikan) oleh aparat penegak hukum. Hal ini mengakibatkan kedudukan advokat tidak sejajar dengan aparat penegak hukum yang lain.
Dari kondisi itu tampak urgensi adanya kewenangan advokat didalam menjalankan fungsi dan tugasnya dalam sistem penegak hukum. Kewenangan advokat tersebut diberikan untuk mendukung terlaksananya penegakan hukum secara baik.
   D.    Profesi kepolisian
Kepolisian adalah segala hal-ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sebagai alat negara kepolisian secara umum memiliki fungsi dan tugas pokok kepolisian, antara lain: memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.
Dalam Pasal 2 UU Nomor 2 Tahun  2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, “Fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat”.
Dalam Pasal 4 UU No.2 Tahun 2002 juga menegaskan “Kepolisian Negara RI bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib, dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia”.
Dalam Pasal 18 ayat (1) bahwa “Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri”.
Dalam Pasal 18 ayat (2) bahwa “ Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Indonesia”.
Dalam Pasal 15 Ayat 2 huruf k, Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan lainnya berwenang : melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas kepolisian;
Dalam Pasal 16 Ayat (1) huruf l : Dalam rangka menyelenggarakan tugas dibidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk : mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.(ayat 2) Tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf l adalah tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat sebagai berikut :
a.   tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;
b. selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut  dilakukan;
c.   harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya;
d.   pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; dan
e.   menghormati HAM.
Dari bunyi Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 Pasal 2 tersebut dapat dilihat dengan jelas bahwa POLRI dalam kedudukannya sebagai aparat penegak hukum mempunyai fungsi menegakkan hukum di bidang yudisial, tugas preventif maupun represif. Sehingga dengan dimilikinya kewenangan diskresi dibidang yudisial yang tertuang dalam UU No 2 tahun 2002 pada Pasal 18 ayat (1) bahwa “Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri”.  Tentunya dalam melakukan tindakan tersebut harus sesuai dengan Pasal 4 UU No.2 Tahun 2002 yaitu dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Kemudian istilah Diskresi Kepolisian menurut  Pasal 15 Ayat 2 huruf k dikenal dengan  “kewenangan lain” , menurut Pasal 16 Ayat (1) huruf l dikenal dengan  “tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab dan menurut Pasal 7 ayat 1j KUHAP dikenal dengan istilah “tindakan apa saja menurut hukum yang bertanggung jawab”.
Dalam tugas- tugas kepolisian khususnya  tindakan penyelidikan dan penyidikan maka tindakan Diskresi Kepolisian harus memenuhi syarat sebagai berikut:
 a. tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;
Artinya berjalan sesuai dengan hukum positif maupun hukum lainnya yang berlaku ditempat dimana Diskresi Kepolisian diambil oleh seorang petugas. Dalam system hukum di Indonesia dikenal 4 ( empat ) macam sumber hukum antara lain adalah hukum Negara atau hukum positif, hukum adat istiadat, hukum agama, dan kebiasan- kebiasaan.
b.  selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan;
artinya tindakan yang diambil diatur dalam aturan tertentu sebagai suatu kewajiban hukum untuk wajib ditegakkan.
c. harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya;
artinya dapat diterima dengan akal yang sehat bagi lingkungan dimana tindakan itu diambil.
d.    pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa;
artinya pada pelaksanaannya atau cara penyampaian dilapangan dilakukan berdasarkan kejadian yang hanya pada saat–saat tertentu (emergencies) tanpa pengamatan ataupun penelitian yang mendalam tentang apa yang diputuskannya tersebut.
d.      menghormati HAM.
Artinya sesuai dengan ketentuan HAM dan tidak melanggar ketentuan HAM tersebut.
Adapun penerapan Diskresi Kepolisian yang tidak dapat dituntut didepan hukum tentunya adalah diskresi kepolisian yang memiliki dasar hukum untuk melakukan diskresi seperti yang diatur dalam Pasal 18 Undang- undang No. 2 Tahun 2002 dan Pasal 7 KUHAP, namun tentunya kewenangan ini dapat dilakukan dengan pertimbangan tertentu sebgai batasan- batasan. Jadi, kewenangan diskresi kini tidak unlimited.  Tindakan diskresi oleh polisi dibatasi oleh:
1.      Asas keperluan, bahwa tindakan itu harus benar-benar diperlukan.
2.      Tindakan yang diambil benar-benar untuk kepentingan tugas kepolisian.
3.      Asas tujuan, bahwa tindakan yang paling tepat untuk meniadakan suatu gangguan atau tidak terjadinya suatu kekhawatiran terhadap akibat yang lebih besar
4.      Asas keseimbangan, bahwa dalam mengambil tindakan harus diperhitungkan keseimbangan antara sifat tindakan atau sasaran yang digunakan dengan besar kecilnya gangguan atau berat ringannya suatu obyek yang harus ditindak (MABESPOLRI, 2002:132).
Langkah kebijaksanaan yang diambil polisi itu biasanya sudah banyak dimengerti oleh komponen-komponen fungsi didalam sistem peradilan pidana. terutama oleh jaksa. Langkah kebijaksanaan yang diambil oleh polisi itu menurut M. Faal biasanya dengan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:
a.       Penggunaan hukum adat setempat dirasa lebih efektif dibanding dengan hukum positif yang berlaku.
b.      Hukum setempat lebih dapat dirasakan oleh para pihak antara pelaku, korban dan masyarakat.
c.       Kebijaksanaan yang ditempuh lebih banyak manfaat dari pada semata-mata menggunakan hukum positif yang ada.
d.      Atas kehendak mereka sendiri.
e.       Tidak bertentangan dengan kepentingan umum





BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Notaris dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya bertanggung jawab penuh terhadap perbuatan-perbuatan hukum yang akan timbul dikemudian hari dan bahkan tanggung jawab moril sebagai profesional, kalau merugikan pihak lain, Notaris harus dapat mempertanggung jawabkan pekerjaannya di muka hukum secara perdata dan pidana.
2.      Untuk menunjang eksistensi Advokat dalam menjalankan fungsi dan tugasnya dalam sistem penegakan hukum, maka diperlukan kewenangan yang harus diberikan kepada Advokat. Kewenangan Advokat tersebut diperlukan dalam rangka menghindari tindakan kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum yang lain (Hakim, Jaksa, Polisi) dan juga dapat memberikan batasan kewenangan yang jelas terhadap advokat dalam menjalankan profesinya.
3.       Diskresi Kepolisian diatur dalam ketentuan hukum yang ada di Indonesia, khususnya diatur dalam Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2002  tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan KUHAP.
Dalam Pasal 2 UU Nomor 2 Tahun  2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, “Fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat”.


[1] Supriadi, Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia ( Cet. I; Jakarta: Sinar Grafika, 2006 ), h.16.
[2] Sufirman Rahman dan   Qamar  Nurul, Etika Profesi Hukum ( Cet. I; Makassar: Pustaka Refleksi, 2014 ), h.76-77.

[3] Titik triwulan tutik, pengantar ilmu hukum, (Jakarta: Prestasi Pusaka, 2006) hlm 251

Tidak ada komentar:

Posting Komentar